MISTERI DIBALIK SI-ENAM
Maret 2008
Maret 2008
Demi meningkatkan kecepatan mobilitasku, dan mengejar agar jam kuliah dan jam kerja bisa maksimal maka aku mulai membawa sepeda motor. Karena kos lama tidak memiliki tempat parkir sepeda motor maka akupun memutuskan pindah kos. Setelah seharian mencari kos baru yang bagus, maksudnya bagus tempatnya, bersih, tidak ada jejak- jejak banjir (yah surabaya kan memang terkenal banjir gan), tidak ada jejak- jejak tikus (entah kenapa aku jijik gan sama hewan pengerat yang satu ini dan alhamdulillah, surabaya tidak pernah bisa dipisahkan sama tikus), kemudian ibu kosnya enak, tidak galak, tidak pelit, dan yang paling penting murah gan, terjangkau sama dompet mahasiswa yang lebih tipis dari kulit ari ini (maklum gan, pada zaman itu duit di kantong tidak pernah lebih dari 300 ribu walaupun masih tanggal muda), dan alhamdulillah juga tidak ada kos yang masuk dalam kriteriaku (ya karena tidak ada kos yang bagus, bersih dan murah sekaligus. Sekalinya ada, kamarnya bekas buat gantung diri). Jadilah usaha seharian itu tidak membuahkan hasil sama sekali kecuali lelah dan letih di badan.
Kulihat jam tanganku sudah menunjukkan angka 5 dan 12, yang artinya 30 menit lagi sudah memasuki waktu maghrib. Aku mandi secepat kilat, setelah itu rebahan di kasur kosku yang lama, mengistirahatkan punggungku yang selama 4 jam menempuh perjalanan dari desa ke kota Surabaya, kemudian dilanjutkan lagi berkeliling cari kos baru. Rasanya tulang punggungku hendak mereteli satu per satu. Sambil menunggu waktu maghrib, aku jadi sedikit merenung dan mengingat masa lalu. Lamunanku terbang ke awang- awang, kemudian melayang bebas menembus langit- langit kamar. Terbang bebas ke angkasa yang mulai memerah bersama kelelawar- kelelawar malam yang mulai keluar meninggalkan sarangnya. Kulihat merahnya langit, masih semerah saat pertama kali aku menginjakkan kakiku di Surabaya ini. Di balkon kamar takmir masjid, di lantai dua masjid F.Mipa. Saat itu memang benar- benar pertama kalinya aku ke Surabaya. Dengan meninggalkan kekasih hati di desa, aku merantau ratusan kilometer hingga sampailah aku di kota metropolitan yang berjuluk kota pahlawan ini. Saat itu, walau hanya sehari, rasa kangen sudah membuncah, menyesakkan rongga dada. Ku sms dia yang ada di desa.
“sayang, sedang apa?”, smsku
“sedang menulis di buku kita mas. Aku kangen. Hati- hati ya disana, cepat pulang”, balasnya
“pasti. Aku sayang kamu”, balasku
Hanya seperti itu saja komunikasi kami. Karena sms masih sangat mahal, 350 rupiah per layar per satu kali kirim. Dan uangkupun saat itu tidak banyak. Maka dari itu aku harus berhemat se hemat- hematnya demi mencukupkan uang saku pemberian orang tua. Sms sudah sangat terbatas, apalagi telpon? Nyaris tidak pernah. Untuk mengurangi rasa rindu, kami menulis di sebuah buku. Buku yang menjadi catatan perjalanan kisah kami berdua, yang selalu ia bawa kemanapun, termasuk di hari terakhirnya.
“viona, aku kangen. Kataku lirih”
“oh ya aku ada janji buat tahlilan setelah magrib ini. Aku bergegas bangun dari rebahanku, sholat magrib, dan memacu sepeda motorku ke rumah salah satu temanku. Wah lumayan nih makan malam gratis”, fikirku. Sebagai anak kos yang uangnya pas- pasan, makan gratis adalah salah satu hal yang sangat membahagiakan karena bisa menghemat pengeluaran. Aku tahlilan di rumahnya citra, yang mana hari ini tepat tujuh hari kakeknya meninggal. Dan entah kebetulan atau apa, hari ini juga tepat tujuh hari kakekku meninggal. Ya, kakek kami meninggal di hari yang sama.
Sampai rumahnya citra, aku membantu sebisaku. Ya mengangkat nasi, melipat kardus kue, ikut mengaji, dan lain sebagainya hingga acara tahlilannya selesai dengan lancar. Setelah selesai tahlilan dan perutku kenyang, rupa- rupanya aku kena serangan ngantuk yang luar biasa. Kedua kelopak mata rasanya seperti dibuat ayunan sama gajah, beraaat. Karena rasa kantuk tak tertahankan, akhirnya aku rebahan di ruang tamu rumahnya Citra bersama dengan beberapa tamu lain yang “melekan” malam itu.
“hahaha, kamu kenapa mas?’, tiba- tiba semua yang ada di ruangan itu tertawa
aku bangun tidur sambil mengelus kepala yang sakit karena terbentur lantai.
“sudah sholat belum?”, tanya salah seorang disana
“belum pak”, jawabku
“sholat dulu mas”, lanjutnya
“iya pak”, kemudian aku bergegas ke belakang untuk mengambil wudhu, lalu menuju salah satu kamar untuk sholat. Waktu aku sedang sholat itulah, aku melihat ada sesosok wanita memakai jubah compang camping sedang tertawa sambil melayang di belakangku. aku tidak paham apa maksudnya, atau apa maunya. Aku bergegas menyelesaikan sholatku dan lari ke ruang tamu dimana yang lain sedang berkumpul.
“kenapa mas kok lari?”, tanya seseorang padaku. Sebut saja pak Agus
“mrinding pak”, jawabku disusul gelak tawa semua yang ada disitu
“itu penunggu kosmu nyari’in kamu”, kata pak Agus
“ah masa sih pak?”
“iya. Kamu melihat wanita dengan jubah sobek- sobek kan?”
“kok tau pak?”
“hehe”, pak Agus hanya menjawab dengan tertawa
Memang aku melihat ada wanita memakai jubah compang camping seperti yang dipakai artis mak lampir. Sobek- sobek dan tersuwir- suwir seperti kain pel- pelan. Jubahnya sendiri berwarna abu- abu kumal, yang panjang menutupi mulai dari leher hingga tak nampak kedua kakinya. Wanita itu memang hanya melayang, namun melihat wajahnya yang tersenyum lebar itulah yang membuatku panas dingin. Mukanya hitam, seperti pit hitam dalam dongen sinterklaas. Persis seperti pantat panci yang terus menerus terbakar arang kayu. Giginya yang terlihat hitam- hitam menyembul keluar saat dia tertawa lebar. Auranya hitam pekat, memancar dari tubuhnya. Tangannya yang kurus kering tinggal tulang dengan kuku- kukunya yang panjang menggapai- gapai muka ku.
“itu adalah penguasa daerah sekitar kos kamu. Sedangkan penguasa kos kamu adalah sosok kakek- kakek bungkuk yang memegang tongkat”, pak Agus melanjutkan
“lalu pak, kenapa dia kesini?”, tanyaku kemudian
“dia tidak terima jika kamu membawa anggotanya keluar kos”
“apa yang bapak maksud itu adalah enam jin?”
“bukan, hanya empat. Yang pertama adalah kakek- kakek, bungkuk, bawa tongkat buat jalan. Dia pake sorban putih, baju putih, tutup kepala putih. Rambutnya putih, jenggotnya putih. Semuuua serba putih. Yang kedua adalah sosok kuntilanak membawa bayi. Yang ketiga adalah sosok wanita dengan baju hijau. Yang ke empat adalah sosok anak kecil seperti tuyul”, kata pak Agus
“kok cuma empat pak? bukan enam?”, protesku
“kok cuma empat pak? bukan enam?”, protesku
“empat, dan ke empat- empatnya adalah penghuni asli kos kamu”
“masa sih pak?”, tanyaku
“ya. Kuntilanak itu aslinya bertempat di kos kamu. Di atas genting lantai dua”
“lalu anak kecil, itu aslinya ada di kebun pisang di belakang kos kamu. Aku melihat, dulunya disitu ada kuburan, dan bisa jadi itu hantu anak kecil adalah penghuni situ yang sedang main ke kos kamu, lalu ikut kamu”
“wanita dengan baju hijau itu adalah penghuni kos- kosan di sebelah kos kamu. Sebelah kos kamu itu kan banyak kamar yang kosong, nah dia adalah salah satu penghuni disitu. Dia hantu yang muncul akibat ada anak kos yang mati bunuh diri di salah satu kamarnya.
“terakhir, kakek- kakek bungkuk. Dia adalah tetua hantu yang menguasai kos kamu. Dia adalah bawahan langsung wanita berbaju sobek- sobek yang menampakkan diri tadi”, jelas pak Agus
“wah- wah, begitu ya pak?”
“ya. Kos kamu itu ibaratnya adalah tempat berkumpulnya hantu- hantu di wilayah sekitar situ sebelum para hantu itu berkumpul di markas utama. Ibaratnya seperti tempat transit sementara”
“wah, kok horror pak?”, aku mulai takut
“entahlah, aku juga tidak paham kenapa kos kamu kok dijadikan tempat transit. Yang jelas mereka semua ngumpul dulu di kos kamu sebelum mereka berkumpul di markas utama”
“lalu pak, dimanakah markas utama mereka?”, tanyaku
“di pabrik pari”
“pabrik pari pak?”
“ya, pabrik pari”, jawab pak Agus
“lalu kenapa mereka kesini?”, tanyaku lagi
“ke empat hantu tadi kan ikut kamu, termasuk ketika kamu pindah kos. Nah maksud kedatangan si hantu dengan baju compang camping tadi adalah ingin mengajak empat hantu yang ikut kamu supaya pulang kembali ke kos. Jika mereka berempat tidak mau kembali ke kos maka dia bermaksud membuatmu balik lagi ke kos lamamu”
“wah”, aku cuma bisa melongo mendengarkan penjelasannya
“lalu ini tadi sebenarnya awalnya kenapa kok akhirnya membahas saya pak?”, tanyaku
“kamu tidak sadar?”
“ini tadi kamu tidur, lalu dalam kondisi tidur tanganmu mulai terangkat ke atas, dua- duanya seolah ada yang mengajak kamu untuk bangun. Setelah itu kamu makin bangun dan semakin tegak. Aku melihatnya, kamu bersikap begitu karena si wanita compang- camping tadi sebenarnya sedang menarik sukmamu untuk keluar, makanya kemudian aku tarik paksa supaya sukmamu balik ke badanmu”, kata pak Agus
“hah? seseram itukah yang terjadi?”, aku masih melongo
“ya begitulah:, jawab pak Agus
“walah, lalu kenapa saya pak?”, tanyaku lagi
“ya kamu sebagai anak yang punya wadah. Wadah yang kamu punya bisa di ibaratkan masih setengah terbuka, maka dari itu kamu mulai bisa sepintas melihat mereka. Nanti saat wadah kamu benar- benar terbuka sepenuhnya maka kamu akan bisa melihat mereka dengan jelas, sekaligus berkomunikasi dengan mereka”, jawab pak Agus
“wah kok ngeri pak?”
“harusnya disukuri mas jika punya bakat seperti itu”
“tapi saya takut pak, bagaimana?”
“apa mau ditutup saja?”
“emmb, boleh sih pak ditutup saja. Soalnya saya sering takut pak kalau di kosan sendirian”
“tapi sekalinya ditutup, tidak akan bisa dibuka lagi lo”
“waduh, kalau suatu saat saya siap dengan mereka bagaimana pak?”
“ghoib itu butuh keyakinan mas. Kalau sampean takut, ragu, tidak yakin, maka lebih baik jangan”
“oo begitu ya pak? Saya faham. Lalu bagaimana pak sebaiknya?”
“sebaiknya ya dinikmati saja mas, sekaligus diperbanyak doa nya”
“begitu ya pak?”
“iya”, kata pak Agus mengahiri percakapannya
“saya juga pernah mas melewati masa- masa seperti sampean. Saya juga pernah takut menghadapi yang namanya hantu. Apalagi saat itu, saya sampai bisa melihat arwahnya orang yang akan meninggal”, kata pak Heri, teman pak Agus
“o ya pak? Bagaimana pak ceritanya?”, sambungku
“dulu, saya juga punya guru mas. Salah satu kyai besar di mojokerto sana. Saya dikasih amalan mas. Kalau mas mau, bisa saya ajarkan. Yang jelas, saat saya mengamalkan itu, hidup saya mulai berubah mas. Diawali pada suatu sore, saya menjenguk teman saya yang habis mengalami kecelakaan di Rumah Sakit XXX. Nah, disitu begitu saya masuk ke dalam RS nya kan. Masih di lorong mas, wong masih di depan pintu masuknya kok. Saya melihat ada bapak- bapak tua berjalan di depan saya. Mukanya pucat, wajahnya murung. Dia berjalan seolah tanpa tujuan dengan tatapan mata kosong. Dia masih memakai baju hijau khas rumah sakit mas. Kemudian yang membuat saya yakin kalau dia bukan manusia adalah, dia berjalan dengan melayang. Kakinya sama sekali tidak bergerak mas, namun dia berjalan maju. Artinya apa coba kalau bukan hantu? Dan lagi mas baunya seperti bangkai. Walaupun g sebau bangkai tikus ya mas, namun itu bukan bau manusia normal mas. Seperti bau kotoran. Seketika, bulu kuduk saya berdiri mas. Saya merinding”, lanjut pak Heri
“wah, bisa gitu ya pak?”, timpalku
“wah, bisa gitu ya pak?”, timpalku
“nah mas, setelah saya sampai di kamar tempat teman saya dirawat mas, ternyata satu kamar itu ada beberapa pasien. Nah salah satu pasien di kamar itu ada yang sedang sekarat mas. Saya tau dari orang- orang yang besuk di dekat orang itu berusaha menuntun untuk membaca sahadat. Dia masih hidup mas, jantungnya masih berdenyut pelan. Terlihat dari alat itu lo mas apa ya namanya yang untuk mendeteksi detak jantung seperti yang di tivi- tivi. Nah saya penasaran kan mas, akhirnya saya coba melongok ke pasien tadi. Dan sampean tau mas, itu adalah bapak- bapak yang tadi berjalan di lorong yang ketemu saya pas baru masuk ke RS”, cerita pak Heri
“waduh, ngeri pak kalau sampai seperti itu”, aku merinding juga mendengarkan cerita pak Heri
“ya kalau sampean siap sih, saya bisa saja mengajarkan mas. Doa nya seperti ini lo mas, innahu min sulaiman wa innahu
bismillahirrhmaa nirrokhiim allaa ta’alu alaiya wa a tunni muslimiin”, kata pak Heri
bismillahirrhmaa nirrokhiim allaa ta’alu alaiya wa a tunni muslimiin”, kata pak Heri
“lho kok aku jadi di ajarin pak hadeeh nanti kalau dedemit pada ngumpul bagaimana?’, kataku
“yaa tidak apa- apa to mas, buat nambah pengalaman”, kata pak Heri iseng
“yasudah pak, saya pamit tidur dulu pak”, kataku kemudian sambil berjalan mencari sudut ruangan yang pas untuk tidur. Dan ketika aku bangun, ternyata tanggal di kalender sudah berganti. Hari sudah pagi dan akupun pamit untuk pulang ke kos. Ya, kos lama tempat ke empat hantu yang mengikutiku berasal. Aku masih penasaran dengan dua hantu lainnya. Sebenarnya siapa mereka, dan kenapa mereka mengikutiku. Entahlah, hanya Tuhan yang tau jawabannya.
0 Komentar